Manhaj tarjih muhammadiyah
I. Pengertian
nTarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
II. Tajdid dalam muhammdiyah
nDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.
Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdiddapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Tajdid dalam Muhammadiyah
Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini. Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan. Mengapa kita mesti statis dan konservatif ?
Tentu kita akan ketinggalan zaman jika kita tidak berpikir dinamis. Maka KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sejak awal kiprahnya telah menyerukan kepada umat Islam di Indonesia agar selalu mengadakan pembaruan dalam pemahaman ajaran Islam. Ide pembaruan bersumber dari sebuah Hadis yang artinya : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada tiap-tiap penghujung abad seorang yang akan memperbarui pemahaman agama bagi umat tersebut”. Dari Hadis ini ditarik kesimpulan, setiap abad akan muncul mujadid (reformer) Islam.
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi. Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi ( pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.
Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi antarbudaya yang sangat kompleks.
Ilmu, Amal, dan Akhlak
Mencermalti jejak KH Ahmad Dahlan, sejak awal kiprahnya dia sangat mengutamakan pendidikan umat. Dia berobsesi agar umat Islam menjadi umat yang berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Mula-mula dia mendirikan sekolah di rumahnya dan biaya penyelenggaraan pendidikan pun ditanggungnya sendiri.
Dia sangat mendambakan agar bangsa Indonesia jangan kalah pandai dibanding dengan bangsa Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Maka di sekolah Muhammadiyah mulai diajarkan bahasa asing, yaitu Arab, Belanda, dan Inggris. Kini lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah berkembang luas di seluruh pelosok Tanah Air.
Sejak muda Ahmad Dahlan dikenal sebagai pemuda yang suka bekerja keras dan tidak banyak bicara. Sifat ini kemudian diformulasikan sebagai semboyan organisasi yaitu “Sedikit bicara, banyak bekerja”.
Revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren ( sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme) kaitannya dengan bidang agama
Semboyan ini menjiwai etos kerja warga, sehingga Muhammadiyah sering diidentikkan sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa beramal. Kenyataannya memang demikian, betapa banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ahmad Dahlan juga menekankan hendaknya semua warga menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah ( budi pekerti yang luhur ). Di antaranya masalah keikhlasan dalam mengabdi di organisasi sangat diutamakan, sehingga muncul semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Semboyan ini mengandung arti bahwa warga Muhammadiyah harus berani berkorban demi kelangsungan hidup organisassinya, dan jangan sampai ada orang yang bekerja di Muhammadiyah hanya semata-mata untuk mencari nafkah, apalagi untuk memperkaya diri, melainkan harus didasari dengan semangat pengabdian untuk mencapai cita-cita dan tujuan organisasi.
Dalam melaksanakan dakwahnya, KH Ahmad Dahlan menekankan agar umat Islam memiliki keimanan yang benar dan mengerjakan ibadah dengan cara yang benar pula. Sebab kalau tidak, sia-sialah jerih payah dalam mengamalkan ajaran agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan ibadah yang tidak ada perintahnya dari aku, maka tertolaklah ibadahnya”.
Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka Muhammadiyah menyerukan kepada umat Islam agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churafat. Dalam churafat itu terdapat unsur syirik, sehingga lebih lengkapnya ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah, churafat, dan syirik. Inilah bentuk awal daritajdid yang diserukan oleh KH Dahlan. Kemudian oleh para pemimpin Muhammadiyah periode berikutnya, pengertian itu dikembangkan.
Pengembangan
Pembaruan diperlukan karena terjadinya perubahan dalam masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pada zaman Nabi Muhammad SAW, upaya untuk mencegah kehamilan, yang menurut istilah sekarang adalah perencanaan keluarga, melalui ‘azl ( coitus interruptus).Pada zaman modern sekarang, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan metode baru untuk perencanaan keluarga, seperti : dengan suntikan, pil, kondom, susuk, IUD, vasektomi, tubektomi, dan lain-lain.
Meski terdapat perubahan dalam metode, namun prinsip ajaran agama harus selalu diindahkan. Misalnya pemasangan alat kontrasepsi pada rahim wanita hendaknya dilakukan oleh wanita juga. Sebab pada prinsipnya pria dilarang melihat aurat wanita, kecuali dalam keadaan darurat.
Pengertian tajdid mengalami pengembangan. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang Desember 1990, antara lain dirumuskan, tujuan tajdid adalah untuk memfungsikan Islam sebagai furqan(membedakan antara yang haq dan yang batil), hudan (petunjuk),rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dimensi tajdid meliputi pemurnian akidah dan ibadah serta pembentukan akhlak yang mulia; pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, progresif, dan berwawasan masa depan; pengembangan kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam melaksanakannya, kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapat perhatian khusus. Dalam satu segi Iptek bisa menimbulkan degradasi harkat dan martabat manusia. Namun dalam segi lain ia berfungsi positif bagi operasionalisasi dakwah dan tarbiyah serta pencapaian harkat kemanusiaan yang menjadi tujuan kemerdekaan bangsa.
Tantangan Masa Kini
Memasuki abad ke-21, sejalan dengan arus globalisasi, tantangan terhadap eksistensi agama makin keras. Sebagai contoh, di Amerika Serikat belum lama ini diadakan jajak pendapat oleh lembaga Haris Poll. Hasilnya 42 % penduduk Amerika Serikat tidak yakin Tuhan benar-benar ada dan berkuasa atas alam semesta.
Tidak mustahil di antara orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Paman Sam itu ada yang terpengaruh menjadi ateis atau agnostis, dan merasa bangga dapat meniru pandangan hidup orang modern di negara adidaya tersebut.
Meniru cara berpikir dan budaya Barat itu bagi sebagian orang merupakan kebanggaan. Misalnya orang yang dengan getol ingin terus menerbitkan majalah Playboy di Indonesia. Meski isi majalah tersebut jelas saru, tetapi mereka beralasan bahwa di negara maju majalah semacam itu tidak ada masalah, di samping mereka membayangkan akan meraih keuntungan finansial yang sangat besar.
Berdasarkan contoh kasus tersebut maka revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Suara yang muncul di Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang antara lain menyatakan, selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi : teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren seperti : sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme, dan lain-lain dalam kaitannya dengan bidang agama.
III. Mekanisme ijtihad
nMuhammadiyah sebagai gerakan islam dan dakwah amar ma`ruf nahi munkar. Muhammadiyah selalu berusaha agar umat Islam dapat melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits tanpa mengabaikan akan dalam memahami dan menjabarkan pemahaman makna. Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangsih yang besar bagi umat islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dan telah banyak pula sumbangan pemikiran Muhammadiyah yang menjadi amalan bagi umat muslim dan ada pula ide-ide Muhammadiyah yang menjadi program nasional.
Dalam memberikan arahan kepada warganya menenai masalah hukum, Muhammadiyah mendirikan majlis tarjih yang diproyeksikan sebagai Laboratorium dari mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah. Dan ini telah terbukti ditengah-tengah masyarakat, walaupun masih belum banyak putusan-putusan yang dihasilkan.
Yang menjadi dasar pijakan mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah khususnya mengenai dasar-dasar hukum adala putusan Muktamar Tarjih ta un 1954/1955 yang menegaskan :
a. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Qur`an dan hadits.
b. Bahwa dimana dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatka untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan `ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapatnash sharih di dalam Al-Qur`an atau Sunnah shahihah, maka dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath atas nash-nashyang ada, melalui persamaan illat; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.[5]
Lembaga tarjih dikalangan Muhammadiyah ini juga menjadi jalan ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Ijtihad dalam lembaga ini merupaka ijtihad yang bersifat kolektif, artinya dalam pengambilan istnbath hukum dilakukan dengan jalan musyawarah dengan mempertimbangkan dali-dalil yang relevan dan kuat dengan membandingkan beberapa dalil yang ada. Melalui majlis tarjih ini persoalan-persoalan yang diangkat kemudian dicarikan dalilnya yeng relevan, diterapkan istinbath hukumnya kemudian baru ditentukan natijahnya. Setelah diperoleh keputusan, maka hasilnya diajukan ke pimpinan pusat Muhammadiyah untuk ditanfidzkan atau disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada, dan setelah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut bersifat mengikat bagi warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya.
Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda pendapat dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga kasyf-u`l Asrar disebutkan bahwa tarjih itu adalah:
تَقْدِمُ الْمُجْتَهِدِ اَحَدَ الطَّرِيْقَيْنِ الْمُعَارِضَيْنِ لِمَا فِيْهِ مِنْ مَزِيَّةِ مُعْتَبَرَةِ تَجْعَلُ الْعَمَلِ بِهِ اَوُلِيَ مِنَ اْلأَخَرِ
“ Segala usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu.”[6]
Dalam pengambilan keputusan hukum, majlis tarjih menempuh jalan ijtihad yang meliputi:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna yang dimaksud, maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak), atau karena pengertian lafal dalam lafal yang konteksnya mempunyai arti yag jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya dalil-dalil yang tampak ditempuh alk jam` kemudian tarjih.
b. Ijtihad Qiyasi, yaitu menganalogikan hukum yang disebut dalam nash kedalam masalah baru yang belum ada hukumnash, karena persamaan illat.
c. Ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam nash sama sekali hukum khusus, maupun tidak ada nash yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illatuntuk kemaslahatan.[7]
Ketiga jalan ijtihad tersebut merupakan jalan yang ditempuh oleh majlis tarjih Muhammadiyah dalam menentukan suatu hukum dari masalah yang di angkat. Dalam pengambilan hukum, majlis tarjih tidak menganut atau mengikatkan diri pada sesuatu mazhab tertentu, tetapi pendapat imam-imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu hukum selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Dan dalam menetapkan suatu putusan dilakukan dengan jalan musyawarah, menetapkan masalah-masalah ijtihadiyah dilakukan ijtihad jama`i dan pendapat perorangan dari anggota tidak dapat dipandang sebagai pendapat majlis.
Ijtihad bayani maupun ijtihad qiyasi telah banyak dilakukan oleh para imam mahzab dalam menentukan istinbath hukum. Sedangkanijtihad istishlah adalah pencarian hukum suatu masalah yang didasarkan atas pertimbagan kemaslahatan. Menetapkan hukum atas dasar kemaslahatan yang kadang mengandung makna yang semu yang dapat didorong oleh nafsu hedonis.[8] Imam Syafi`i menolak penetapan hukum hanya berdasarkan kebaikan karena hal seperti ini dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu. Penetapan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan ini yang persoalan perlu adanya solusi yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Jawaban dari persoalan kemaslahatan inilah yang perlu dicarikan solusinya agar tujuan dari kemaslahatan dapat menunjang terpeliharanya agama, diri manusia, kehormatan serta fikiran, harta dan keturunan. Sehingga kemaslahatan yang dijadikan landasan ijtihad ishtishlahi dapat menjadi jiwa dalam penetapan hukum syari`at atau istilahnya maqasidus syari`at dapat terpenuhi.
Sedangkan dalam pengambilan sumber hukum yang bersumber dari hadits Nabi, majlis tarjih dalam menjadikan suatu hadits menjadi sumber hukum mempertimbangkan tiga aspek dalam pentarjihan. Adapun tiga aspek yang menjadi petimbangan dalam pentarjihan dalil-dalil manqulhukum antara lain;
a. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi 2:
1). Yang kembali kepada perawi , yang dibagi menjadi dua pula: yang kembali diri perawi dan yang kembali kepada penilaian perawi.
2). Yang kembali kepada periwayatan.
b. Yang kembali kepada matan,
c. Yang kembali kepada hal yang diluar kedua tersebut.[9]
Itulah beberapa aspek pentarjihan yang dua dalil (khususnya hadits) menurut rumusan sebagian ulama, dan penerapannya perlu kita renungkan lebih dalam. Pelaksanaan tarjih seperti tersebut di atas tidaklah merupakan satu-satunya jalan yang ditempuh majlis tarjih . karena majlis tarjih tugasnya tidak hanya mentarjih dalil-dali yang bertentangan, tetapi majlis ini juga melakukan ijtihad yaitu ijtihad jama`i.
I. Pengertian
nTarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
II. Tajdid dalam muhammdiyah
nDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.
Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdiddapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Tajdid dalam Muhammadiyah
Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini. Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan. Mengapa kita mesti statis dan konservatif ?
Tentu kita akan ketinggalan zaman jika kita tidak berpikir dinamis. Maka KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sejak awal kiprahnya telah menyerukan kepada umat Islam di Indonesia agar selalu mengadakan pembaruan dalam pemahaman ajaran Islam. Ide pembaruan bersumber dari sebuah Hadis yang artinya : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada tiap-tiap penghujung abad seorang yang akan memperbarui pemahaman agama bagi umat tersebut”. Dari Hadis ini ditarik kesimpulan, setiap abad akan muncul mujadid (reformer) Islam.
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi. Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi ( pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.
Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi antarbudaya yang sangat kompleks.
Ilmu, Amal, dan Akhlak
Mencermalti jejak KH Ahmad Dahlan, sejak awal kiprahnya dia sangat mengutamakan pendidikan umat. Dia berobsesi agar umat Islam menjadi umat yang berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Mula-mula dia mendirikan sekolah di rumahnya dan biaya penyelenggaraan pendidikan pun ditanggungnya sendiri.
Dia sangat mendambakan agar bangsa Indonesia jangan kalah pandai dibanding dengan bangsa Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Maka di sekolah Muhammadiyah mulai diajarkan bahasa asing, yaitu Arab, Belanda, dan Inggris. Kini lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah berkembang luas di seluruh pelosok Tanah Air.
Sejak muda Ahmad Dahlan dikenal sebagai pemuda yang suka bekerja keras dan tidak banyak bicara. Sifat ini kemudian diformulasikan sebagai semboyan organisasi yaitu “Sedikit bicara, banyak bekerja”.
Revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren ( sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme) kaitannya dengan bidang agama
Semboyan ini menjiwai etos kerja warga, sehingga Muhammadiyah sering diidentikkan sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa beramal. Kenyataannya memang demikian, betapa banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ahmad Dahlan juga menekankan hendaknya semua warga menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah ( budi pekerti yang luhur ). Di antaranya masalah keikhlasan dalam mengabdi di organisasi sangat diutamakan, sehingga muncul semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Semboyan ini mengandung arti bahwa warga Muhammadiyah harus berani berkorban demi kelangsungan hidup organisassinya, dan jangan sampai ada orang yang bekerja di Muhammadiyah hanya semata-mata untuk mencari nafkah, apalagi untuk memperkaya diri, melainkan harus didasari dengan semangat pengabdian untuk mencapai cita-cita dan tujuan organisasi.
Dalam melaksanakan dakwahnya, KH Ahmad Dahlan menekankan agar umat Islam memiliki keimanan yang benar dan mengerjakan ibadah dengan cara yang benar pula. Sebab kalau tidak, sia-sialah jerih payah dalam mengamalkan ajaran agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan ibadah yang tidak ada perintahnya dari aku, maka tertolaklah ibadahnya”.
Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka Muhammadiyah menyerukan kepada umat Islam agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churafat. Dalam churafat itu terdapat unsur syirik, sehingga lebih lengkapnya ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah, churafat, dan syirik. Inilah bentuk awal daritajdid yang diserukan oleh KH Dahlan. Kemudian oleh para pemimpin Muhammadiyah periode berikutnya, pengertian itu dikembangkan.
Pengembangan
Pembaruan diperlukan karena terjadinya perubahan dalam masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pada zaman Nabi Muhammad SAW, upaya untuk mencegah kehamilan, yang menurut istilah sekarang adalah perencanaan keluarga, melalui ‘azl ( coitus interruptus).Pada zaman modern sekarang, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan metode baru untuk perencanaan keluarga, seperti : dengan suntikan, pil, kondom, susuk, IUD, vasektomi, tubektomi, dan lain-lain.
Meski terdapat perubahan dalam metode, namun prinsip ajaran agama harus selalu diindahkan. Misalnya pemasangan alat kontrasepsi pada rahim wanita hendaknya dilakukan oleh wanita juga. Sebab pada prinsipnya pria dilarang melihat aurat wanita, kecuali dalam keadaan darurat.
Pengertian tajdid mengalami pengembangan. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang Desember 1990, antara lain dirumuskan, tujuan tajdid adalah untuk memfungsikan Islam sebagai furqan(membedakan antara yang haq dan yang batil), hudan (petunjuk),rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dimensi tajdid meliputi pemurnian akidah dan ibadah serta pembentukan akhlak yang mulia; pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, progresif, dan berwawasan masa depan; pengembangan kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam melaksanakannya, kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapat perhatian khusus. Dalam satu segi Iptek bisa menimbulkan degradasi harkat dan martabat manusia. Namun dalam segi lain ia berfungsi positif bagi operasionalisasi dakwah dan tarbiyah serta pencapaian harkat kemanusiaan yang menjadi tujuan kemerdekaan bangsa.
Tantangan Masa Kini
Memasuki abad ke-21, sejalan dengan arus globalisasi, tantangan terhadap eksistensi agama makin keras. Sebagai contoh, di Amerika Serikat belum lama ini diadakan jajak pendapat oleh lembaga Haris Poll. Hasilnya 42 % penduduk Amerika Serikat tidak yakin Tuhan benar-benar ada dan berkuasa atas alam semesta.
Tidak mustahil di antara orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Paman Sam itu ada yang terpengaruh menjadi ateis atau agnostis, dan merasa bangga dapat meniru pandangan hidup orang modern di negara adidaya tersebut.
Meniru cara berpikir dan budaya Barat itu bagi sebagian orang merupakan kebanggaan. Misalnya orang yang dengan getol ingin terus menerbitkan majalah Playboy di Indonesia. Meski isi majalah tersebut jelas saru, tetapi mereka beralasan bahwa di negara maju majalah semacam itu tidak ada masalah, di samping mereka membayangkan akan meraih keuntungan finansial yang sangat besar.
Berdasarkan contoh kasus tersebut maka revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Suara yang muncul di Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang antara lain menyatakan, selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi : teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren seperti : sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme, dan lain-lain dalam kaitannya dengan bidang agama.
III. Mekanisme ijtihad
nMuhammadiyah sebagai gerakan islam dan dakwah amar ma`ruf nahi munkar. Muhammadiyah selalu berusaha agar umat Islam dapat melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits tanpa mengabaikan akan dalam memahami dan menjabarkan pemahaman makna. Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangsih yang besar bagi umat islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dan telah banyak pula sumbangan pemikiran Muhammadiyah yang menjadi amalan bagi umat muslim dan ada pula ide-ide Muhammadiyah yang menjadi program nasional.
Dalam memberikan arahan kepada warganya menenai masalah hukum, Muhammadiyah mendirikan majlis tarjih yang diproyeksikan sebagai Laboratorium dari mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah. Dan ini telah terbukti ditengah-tengah masyarakat, walaupun masih belum banyak putusan-putusan yang dihasilkan.
Yang menjadi dasar pijakan mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah khususnya mengenai dasar-dasar hukum adala putusan Muktamar Tarjih ta un 1954/1955 yang menegaskan :
a. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Qur`an dan hadits.
b. Bahwa dimana dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatka untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan `ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapatnash sharih di dalam Al-Qur`an atau Sunnah shahihah, maka dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath atas nash-nashyang ada, melalui persamaan illat; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.[5]
Lembaga tarjih dikalangan Muhammadiyah ini juga menjadi jalan ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Ijtihad dalam lembaga ini merupaka ijtihad yang bersifat kolektif, artinya dalam pengambilan istnbath hukum dilakukan dengan jalan musyawarah dengan mempertimbangkan dali-dalil yang relevan dan kuat dengan membandingkan beberapa dalil yang ada. Melalui majlis tarjih ini persoalan-persoalan yang diangkat kemudian dicarikan dalilnya yeng relevan, diterapkan istinbath hukumnya kemudian baru ditentukan natijahnya. Setelah diperoleh keputusan, maka hasilnya diajukan ke pimpinan pusat Muhammadiyah untuk ditanfidzkan atau disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada, dan setelah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut bersifat mengikat bagi warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya.
Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda pendapat dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga kasyf-u`l Asrar disebutkan bahwa tarjih itu adalah:
تَقْدِمُ الْمُجْتَهِدِ اَحَدَ الطَّرِيْقَيْنِ الْمُعَارِضَيْنِ لِمَا فِيْهِ مِنْ مَزِيَّةِ مُعْتَبَرَةِ تَجْعَلُ الْعَمَلِ بِهِ اَوُلِيَ مِنَ اْلأَخَرِ
“ Segala usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu.”[6]
Dalam pengambilan keputusan hukum, majlis tarjih menempuh jalan ijtihad yang meliputi:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna yang dimaksud, maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak), atau karena pengertian lafal dalam lafal yang konteksnya mempunyai arti yag jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya dalil-dalil yang tampak ditempuh alk jam` kemudian tarjih.
b. Ijtihad Qiyasi, yaitu menganalogikan hukum yang disebut dalam nash kedalam masalah baru yang belum ada hukumnash, karena persamaan illat.
c. Ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam nash sama sekali hukum khusus, maupun tidak ada nash yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illatuntuk kemaslahatan.[7]
Ketiga jalan ijtihad tersebut merupakan jalan yang ditempuh oleh majlis tarjih Muhammadiyah dalam menentukan suatu hukum dari masalah yang di angkat. Dalam pengambilan hukum, majlis tarjih tidak menganut atau mengikatkan diri pada sesuatu mazhab tertentu, tetapi pendapat imam-imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu hukum selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Dan dalam menetapkan suatu putusan dilakukan dengan jalan musyawarah, menetapkan masalah-masalah ijtihadiyah dilakukan ijtihad jama`i dan pendapat perorangan dari anggota tidak dapat dipandang sebagai pendapat majlis.
Ijtihad bayani maupun ijtihad qiyasi telah banyak dilakukan oleh para imam mahzab dalam menentukan istinbath hukum. Sedangkanijtihad istishlah adalah pencarian hukum suatu masalah yang didasarkan atas pertimbagan kemaslahatan. Menetapkan hukum atas dasar kemaslahatan yang kadang mengandung makna yang semu yang dapat didorong oleh nafsu hedonis.[8] Imam Syafi`i menolak penetapan hukum hanya berdasarkan kebaikan karena hal seperti ini dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu. Penetapan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan ini yang persoalan perlu adanya solusi yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Jawaban dari persoalan kemaslahatan inilah yang perlu dicarikan solusinya agar tujuan dari kemaslahatan dapat menunjang terpeliharanya agama, diri manusia, kehormatan serta fikiran, harta dan keturunan. Sehingga kemaslahatan yang dijadikan landasan ijtihad ishtishlahi dapat menjadi jiwa dalam penetapan hukum syari`at atau istilahnya maqasidus syari`at dapat terpenuhi.
Sedangkan dalam pengambilan sumber hukum yang bersumber dari hadits Nabi, majlis tarjih dalam menjadikan suatu hadits menjadi sumber hukum mempertimbangkan tiga aspek dalam pentarjihan. Adapun tiga aspek yang menjadi petimbangan dalam pentarjihan dalil-dalil manqulhukum antara lain;
a. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi 2:
1). Yang kembali kepada perawi , yang dibagi menjadi dua pula: yang kembali diri perawi dan yang kembali kepada penilaian perawi.
2). Yang kembali kepada periwayatan.
b. Yang kembali kepada matan,
c. Yang kembali kepada hal yang diluar kedua tersebut.[9]
Itulah beberapa aspek pentarjihan yang dua dalil (khususnya hadits) menurut rumusan sebagian ulama, dan penerapannya perlu kita renungkan lebih dalam. Pelaksanaan tarjih seperti tersebut di atas tidaklah merupakan satu-satunya jalan yang ditempuh majlis tarjih . karena majlis tarjih tugasnya tidak hanya mentarjih dalil-dali yang bertentangan, tetapi majlis ini juga melakukan ijtihad yaitu ijtihad jama`i.
Komentar
Posting Komentar