DASAR USHUL FIQH
I. Pengertian, objek, tujuan, ruang lingkup dan perbedaan dengan fiqh
pengertiapn
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah,suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
objek
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam
Ruang lingkup
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
tujuan
Dengan Usul Fiqh :
- Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
- Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
- Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
- Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.

II. Sejarah dan perkembangan ushul fiqh periode nabi SAW, sahabat dan tabi’in
1. Ushul Fiqh Masa Rasulullah

Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum.

Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[1] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.

Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.

Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari

Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.

1. 2. Ushul Fiqh Masa Sahabat

Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:

عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.

Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]

Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]

Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.

Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.


Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8]

1. 3. Ushul Fiqh Masa Tabi’in

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.

Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:

1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)

Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
III. Munculnya ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
Imam al-Syafi’i Penulis Pertama Ushul Fiqh Sebagai Disiplin Ilmu.
Nama lengkapnya adalah Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia adalah keturunan Quraisy dengan nasab Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi bin Saib bin ‘Abid bin Abdu Yazid ibnu Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf, ia lahir di Gaza Palestina pada bulan Rajab tahun 150 H/767 M. (bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah) dan wafat pada malam jum’at 29 Rajab tahun 204 H/ 29 Januari 820 M. Ia lebih kurang menulis 100 karya ilmiah. Di antaranya; ar-Risalah, al-Umm, Ikhtilaf al-‘Iraqiyyin, Ikhtilaf Malik, Ibthal al-Istihsan, Ahkam al-Qur’an, al-Musnad, al-Radd ‘ala Muhammad bin al-Hasan, al-Qiyas, al-Imla’, al-Amali, al-Qasamat, al-Jizyah, Qital Ahl al-Baghyi, Siyar al-Awza’i, dan lain-lain.[13]
Displin Ilmu yang Dituangkan al-Syafi’i di Dalam Kitabnya al-Risalah.
Dalam menentukan metode yang dikemukakannya, beliau sangatlah hati-hati, sikap ini tampak ketika ditanya tentang landasan beliau terhadap ijma’. Untuk menemukan jawaban tersebut beliau sampai membaca al-Qur’an sebanyak 300 kali dan akhimya menemukan jawabannya pada surat an-Nisa’ ayat 15.[22]
Dalam membangun pemikiran ushul fiqhnya ke dalam suatu displin ilmu, Imam Syafi’i meng¬ikuti fenomena perbedaan dengan cermat sehingga melahirkan suatusintesa pemikiran fiqh, yaitu antara fiqh ahl hadits dan ahl ra’yi yang benar-benar orisinil. Memang benar, bahwa perkem¬bangan Imam Syafi’i pada masa awal perumusan dua mazhab (Hanafi dan Malik) itu telah banyak mewamai pemikiran fiqh mazhab Syafi’i yang moderat dan cenderung pada sikap jalan tengah.[23]
Di tengah-tengah pergumulan intelektual yang terjadi pada saat itu, Syafi’i menulis buku “al-Hujjah” (Argumentasi) yang secara komprehensif memuat sikapnya terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Pemikiran-pemikiran baru Syafi’i itu diantara¬nya tertuang dalam bukunya “al-Umm”, yang disampaikannya secara lisan pada murid-muridnya di Mesir.
Dalam merinci kajian ushul fiqh-nya sehingga menjadi suatu disiplin ilmu, ada beberapa tahapan yang perlu dicatat di sini; yang pertama, di Mekah selama kurang lebih sembilan tahun, saat itu adalah masa kehidupan ilmiah yang paling kreatif dan energik, ia mulai merumuskan pemikirannya khususnya dalam bidang fiqh, secara sungguh-sungguh dan mendalam. Tahap pertama ini merupakan periode perumusan metode berpikir dan kaidah-kaidah dasar, terbukti belum banyak memasuki masalah-masalah far’iyyah (cabang). Dengan kata lain, karakteristik pemikirannya masih bersifat global dan kaidah-kaidah dasar sebagai pijakan dalam berijtihad.
Kedua, dimulai pada tahun 195 H di Baghdad, di sinilah ia mulai memperlihatkan sikapnya terhadap pendapat-pendapat fuqaha’ yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat para sahabat dan tabi’in. Ia mempraktekkan kaidah-kaidah ushuliyah terhadap perbedaan pendapat yang berkembang. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran fiqh Syafi’i.
Ketiga, periode ini dimulai tahun 199 H setelah pindah ke Mesir, hingga wafatnya tahun 204 H. Pada masa-masa akhir inilah, ia menggunakan sebagian besar waktunya untuk menulis buku-bukunya, bahkan merevisi buku-buku yang pernah ditulis¬nya seperti al-Risalah yang merupakan karya monumental pertama sepanjang sejarah dalam bidang ushul al-fiqh[24] sekaligus menjadi bukti kecerdasan Syafi’i dalam menganalisis fenomena yang berkembang dalam pergulatan masalah fiqhiyah. Ia mampu mengakumulasikan hampir semusa masalah hukum Islam dalam karya¬nya tersebut, di mana secara garis besar ia menuangkan tahap¬an metode pengambilan hukum, sebagai berikut, pertama melalui rujukan al-Qur’an sebagai pijakan dasar. Ia berargumentasi bahwa al-Qur’an telah memuat segala ketetentuan hukum dari segala persoalan yang muncul.[25] Kedua, al-sunnah, ia menempatkannya setara dengan al-Qur’an sebagai sumber hukum, karena pada hakekatnya antara keduanya memiliki hubungan yang integral. Pranata yang ketiga ijma’, dan yang keempat qiyas (analog).
Keempat landasan tersebut dijadikannya patokan dalam pengambilan suatu hukum. Sedangkan istihsan, istishhab, sadd al-dzari’ah dan metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bi al-qawa’id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkan¬dung dalam preseden itu sendiri

IV. Aliran ushul fiqh dan buku2 standarnya
nSejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. a. Aliran Mutakallimin

Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..


Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani.
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:

1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.

Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.

b. Aliran Hanafiyah

Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.

Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.

Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:

1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)


c. Aliran Gabungan

Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.

Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.

Komentar

Postingan Populer